Rabu, 11 Juli 2012

Awalnya


Di hadapan saya ada segelas es krim cokelat dengan topping dua buah wafer stik stroberi yang diberi taburan meises. Tadi saya diminta untuk memilih menu pada kedai es krim ini dan jari telunjuk saya dengan cepat memilih es krim cokelat itu. Sekarang, saya sedang duduk sambil memandang kosong es krim yang mulai mencair. Ini adalah kebiasaan saya, menunggu es krim sampai mencair separonya, baru saya mium, baru saya makan. Ada sebuah sensasi tersendiri ketika saya melihat es krim ini mencair perlahan, ia bagai bergerak mengempaskan kebekuan menjadi wujud sesungguhnya di mana ia bermula. Tiba-tiba saya berpikir ini ibarat seorang manusia yang membentengi diri dengan sebuah topeng pada ada saja kesempatan untuk sebuah misi, beku, bukan dirinya. Misalnya saja saya, perlukah saya pamerkan siapa saya sebenarnya? Toh, hanya orang terdekat saya yang memang tau bagaimana sebenarnya saya.
Ah, terus-terusan mengibaratkan sesuatu nanti bisa-bisa saya jadi merasa sok. Saya pelajar abadi yang memiliki guru sebuah alam raya. Guru saya mengajarkan tanpa pernah memberikan tugas, tugasnya selalu saya cari dan kerjakan sendiri. Pemberian nilai pun adalah kehendak saya sebetulnya. Seperti sekarang, saya berkehendak duduk di kedai es krim ini. Memerhatikan es krim cokelat saya mencair pada gelas yang sama. Gelas bening yang biasa digunakan di pesta-pesta dengan sebuah tatakan tinggi agar terlihat elegan. Di bawah tatakannya tertulis nama saya, yang artinya hanya saya yang boleh menggunakan gelas itu. Pegawai di sini pun tau seluk beluknya.
Mungkin hanya tempat ini yang dapat menampung penderitaan saya. Untung saya tidak merealisasikannya dengan bunuh diri, seperti berita-berita di televisi. Untungnya saya masih berpikir untuk melakukan hal yang lebih berkelas daripada bunuh diri. Untungnya saya benci bau obat nyamuk, baik yang semprot ataupun yang bakar, sehingga otak saya tidak dongkol untuk meneguk obat nyamuk sebagai cerita akhir di hidup saya. Untungnya saya menemukan kedai ini dan sekarang sudah separo es krim cokelat saya mencair. Saya menyingkirkan wafer stik stroberinya ke sisi gelas dan memulai minum es krim saya.

 —
Dua jam sebelumnya..
Ponsel saya bergetar, SMS masuk. Darinya. Dalam teksnya, ia lagi-lagi mengingatkan hal yang itu-itu lagi pada saya. Di akhirnya, ia meminta saya untuk bersabar. Bingung saya dibuatnya. Sebuah pesan untuk bersabar dengan terus-menerus mengingatkan hal yang sudah saya ingat tanpa perlu lagi diingatkan. Hari ini saya tidak mendatanginya lagi, cukup saja lima waktu kemarin. Dalam pertemuan selama dua jam dikali lima hari, pembahasan kami hanya pada hal itu-itu lagi. Pengulangan. Statis. Cukup buat saya.
Sebuah pesan masuk lagi, ini darimu. Seorang kawan lama yang selalu hadir di saat yang tepat. Kamu bukan sahabat yang selalu ada bersama saya, tetapi kamu selalu ada di saat yang tepat. Saat tepat tidak selalu ada. Mungkin saya adalah seorang yang pemilah, memilah dan mengategorikan orang ke dalam teman, sahabat, dan kawan. Kamu minta saya menemuimu malam nanti, pukul delapan. Jika kamu bilang begitu, sudah tentu hanya itu waktu yang kamu punya. Selama menunggu waktu itu, saya berdiam dulu di kamar sambil melanjutkan menghitung jumlah ubin dalam kamar saya. Pekerjaan yang terus saya kerjakan ketika ada waktu luang.
Baru menghitung ubin ke delapan belas, sebuah nada panggilan masuk dari ponsel mengusik saya. Darinya lagi. Sudah bisa terdengar kata-kata yang akan ia katakan pada saya. Ia akan menanyakan keberadaan saya, mengapa belum juga menemuinya, padahal ia sudah menunggu saya. Saya diamkan. Hingga ketiga kalinya ponsel saya terus berdering, di panggilan masuk ke empat ponsel saya mati. Saya hanya tersenyum. Akhirnya ia enyah.
Saya kadang-kadang pintar. Tidak begitu lama, pintu rumah saya diketuk dan sudah dapat dipastikan itu ia. Saya tau sebentar lagi ia akan masuk, mencari saya sampai ketemu. Saya pun bersembunyi pada sebuah tembok yang saya lukis dengan gambar pintu cokelat. Saya merogoh sebuah kunci dalam saku celana dan membukanya. Sebuah tempat yang hanya saya seorang tau. Dari dalam tempat itu, saya mengintip ia yang terus memanggil nama saya sambil mata dan tangannya mencari sosok saya.
Hingga ia masuk ke dalam kamar saya, membuka satu-satu laci dalam lemari saya dan melihat berkas-berkas riwayat hidup saya. Saya intip, ia mengambil secarik kertas di sana dan memasukkan dalam tas tangannya. Kertas berisi riwayat saya yang ada di tangannya, berupa rahasia. Jika bukan rahasia, ia tidak mungkin menemui saya. Rahasia mengenai kasih-kasihan dan penderitaan. Sebuah penderitaan dengan pemberitaan akan menjadi sebuah kasihan, menurut saya. Sementara saya bukan orang yang ingin dikasihani.
Sementara tembok dan ruangan ini hanya saya yang bisa tau. Mungkin saya dan semut-semut yang tiba-tiba menyelinap ke dalam. Di sini, ada sebuah kursi dan saya duduk di atasnya. Sejenak saya melihat sebuah es krim cokelat di atas kepala saya. Maka ini adalah tanda, cerita akan segera dimulai.
(bersambung…)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar