Sabtu, 28 Juli 2012

Pertemuan Kedua


Ah, lucunya. Kisah pertemuanku dengannya seperti adegan dalam FTV yang baru kusaksikan tadi siang. Aku seperti pemeran utama wanita dan dia seperti pemeran utama pria. Sesaat setelah senyumannya dilempar kepadaku, aku langsung terbayang adegan dalam FTV itu, kami berkenalan dan cerita setelahnya tentu dapat ditebak. Seperti kebanyakan FTV, akhir ceritanya ’happy ever after’. Tapi aku bukan pemeran dalam FTV itu, aku tidak berkenalan dengannya, dan cerita selanjutnya sangat jauh berbeda dengan tayangan dalam televisi. Aku mencuri-curi kesempatan untuk melihat ke arahnya dan sedikit demi sedikit dalam wajah tegas yang bersahabatnya terdapat sisi dingin. Tatapan matanya. Aku dapat mengetahuinya lewat ekor mataku yang mengikutinya saat ia lewat di depanku menuju kasir. Sebentar ia juga menoleh ke arahku, aku dapat merasakannya. Entah kemudian ada perasaan yang begitu hangat menyelimutiku dan degup jantung ini seakan berlomba dengan bunyi detik jarum jam. Tidak begitu lama dia di kedai ini dan entah kapan lagi aku berjumpa. Oh tidak, mengapa aku menjadi berharap bertemu lagi dengannya? Aku tidak mungkin jatuh cinta, kataku membatin.

Berharap? Saya benci berharap, dan itu menyakitkan. Mengapa orang-orang harus menggantungkan keinginannya dengan harapan? Mengapa mereka mencaci ketika harapan itu sirna? Ketika kenyataannya tidak sebanding lurus dengan harapan? Kemudian mereka akan menyesal telah berharap, mereka akan mengutuki orang-orang yang harapannya terkabul, dan mereka akan berhenti berharap. Seperti saya. Empat tahun bukan waktu yang sebentar untuk membuat perubahan besar dalam hidup saya, setelah kamu begitu saja meninggalkan saya. Empat tahun adalah waktu yang begitu lama sampai benar-benar berhasil membersihkan semua hal tentang dirimu, tak terkecuali. Empat tahun pun waktu yang sangat cukup untuk menata kembali hidup saya yang sempat berantakan karenamu. Empat tahun saya lewati tanpa berharap.

Seindah-indahnya mimpi, ia akan tetap maya kecuali jika berusaha membuatnya nyata. Dia masuk mimpiku semalam, pria yang baru kutemui di kedai es krim kemarin. Bagaimana bisa? Aku tidak seratus persen ingat apa mimpiku, sedang apa dia di mimpiku, apa saja yang kami lakukan dalam mimpi, dan siapa dia dalam mimpiku. Namun, sebangunnya aku dari tidur dengan begitu saja aku tersenyum. Bahkan entah senyum itu untuk siapa. Hanya saja aku yakin, akan ada sesuatu dengan hidupku mulai hari ini. Kalaupun tidak, aku merasa tubuhku sedikit ringan karena mimpi tadi.

”Hahahahahahahahaha!”, tawaku lepas.

Seharian aku berada di kedai es krim, menghabiskan tiga gelas es krim vanila dan menunggunya datang. Tapi dia tidak datang. Jam menunjukkan pukul 19:57 dan sekitar satu jam lagi kedai ini akan tutup. Pegawainya sudah mulai merapikan bangku dan meja-meja. Aku masih ingin di sini, segala kemungkinan bisa terjadi kan? Selain menunggunya, aku juga membereskan pekerjaanku untuk dua hari kedepan. Seperti sedang kerasukan setan aku lembur di kedai es krim hari ini dan menyunting hampir seratus berita. Terkadang aku merasa sedikit beruntung tidak harus berada di kantor untuk bekerja karena beritaku hanya dimuat dalam situs warta digital. Hanya saja ketika begitu banyak berita yang masuk dengan batas waktu yang sempit, aku cukup stres.

Sekarang 13 menit menuju pukul 21.00 dan tinggal aku pengunjung yang ada di sini. Gelas es krim telah diambil, pekerjaanku selesai semua, dan beberapa pegawai justru sudah lebih dahulu pulang. Aku putus asa, segera kukemasi barang-barangku, membayar pesananku, dan keluar dari kedai ini. Benar saja, begitu keluar kedai ini langsung tutup dan lampunya dimatikan. Akhirnya aku berjalan meninggalkan tempat itu. Baru sepuluh langkah, aku mendengar seseorang menggedor-gedor pintu kedai es krim. Aku langsung berbalik dan menemukan dia di sana. Bodohnya, aku terpaku begitu saja. Dia mengetuk beberapa kali pintu kaca dan berseru untuk dibuka, seperti anak kecil yang meminta orang tuanya membukakan pintu saat pulang terlambat. Kemudian dia menatapku yang masih mematung melihatnya. Dia menghampiriku. Badanku lemas.

”Hmmm... Kedainya barusan tutup.”, spontan aku mengatakan itu.
”Oh begitu.. Saya terlambat sedikit. Mungkin besok lagi saja ke sini. Terima kasih, ya.”, katanya sambil berlalu. Besok dia akan ke sini!

(bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar