Ah, lucunya.
Kisah pertemuanku dengannya seperti adegan dalam FTV yang baru kusaksikan tadi
siang. Aku seperti pemeran utama
wanita dan dia seperti pemeran utama pria. Sesaat setelah senyumannya dilempar
kepadaku, aku langsung terbayang adegan dalam FTV itu, kami berkenalan dan
cerita setelahnya tentu dapat ditebak. Seperti kebanyakan FTV, akhir ceritanya ’happy ever after’. Tapi aku bukan
pemeran dalam FTV itu, aku tidak berkenalan dengannya, dan cerita selanjutnya
sangat jauh berbeda dengan tayangan dalam televisi. Aku mencuri-curi kesempatan
untuk melihat ke arahnya dan sedikit demi sedikit dalam wajah tegas yang
bersahabatnya terdapat sisi dingin. Tatapan matanya. Aku dapat mengetahuinya
lewat ekor mataku yang mengikutinya saat ia lewat di depanku menuju kasir.
Sebentar ia juga menoleh ke arahku, aku dapat merasakannya. Entah kemudian ada
perasaan yang begitu hangat menyelimutiku dan degup jantung ini seakan berlomba
dengan bunyi detik jarum jam. Tidak begitu lama dia di kedai ini dan entah
kapan lagi aku berjumpa. Oh tidak, mengapa aku menjadi berharap bertemu lagi
dengannya? Aku tidak mungkin jatuh cinta, kataku membatin.
Berharap? Saya benci berharap, dan itu
menyakitkan. Mengapa orang-orang harus menggantungkan keinginannya dengan
harapan? Mengapa mereka mencaci ketika harapan itu sirna? Ketika kenyataannya
tidak sebanding lurus dengan harapan? Kemudian mereka akan menyesal telah
berharap, mereka akan mengutuki orang-orang yang harapannya terkabul, dan
mereka akan berhenti berharap. Seperti saya. Empat tahun bukan waktu yang
sebentar untuk membuat perubahan besar dalam hidup saya, setelah kamu begitu
saja meninggalkan saya. Empat tahun adalah waktu yang begitu lama sampai
benar-benar berhasil membersihkan semua hal tentang dirimu, tak terkecuali.
Empat tahun pun waktu yang sangat cukup untuk menata kembali hidup saya yang
sempat berantakan karenamu. Empat tahun saya lewati tanpa berharap.
Seindah-indahnya mimpi, ia akan tetap maya kecuali
jika berusaha membuatnya nyata. Dia masuk mimpiku semalam, pria yang baru kutemui
di kedai es krim kemarin. Bagaimana bisa? Aku tidak seratus persen ingat apa
mimpiku, sedang apa dia di mimpiku, apa saja yang kami lakukan dalam mimpi, dan
siapa dia dalam mimpiku. Namun, sebangunnya aku dari tidur dengan begitu saja
aku tersenyum. Bahkan entah senyum itu untuk siapa. Hanya saja aku yakin, akan
ada sesuatu dengan hidupku mulai hari ini. Kalaupun tidak, aku merasa tubuhku
sedikit ringan karena mimpi tadi.
”Hahahahahahahahaha!”, tawaku lepas.
Seharian aku berada di kedai es krim, menghabiskan
tiga gelas es krim vanila dan menunggunya datang. Tapi dia tidak datang. Jam
menunjukkan pukul 19:57 dan sekitar satu jam lagi kedai ini akan tutup.
Pegawainya sudah mulai merapikan bangku dan meja-meja. Aku masih ingin di sini,
segala kemungkinan bisa terjadi kan? Selain menunggunya, aku juga membereskan
pekerjaanku untuk dua hari kedepan. Seperti sedang kerasukan setan aku lembur
di kedai es krim hari ini dan menyunting hampir seratus berita. Terkadang aku
merasa sedikit beruntung tidak harus berada di kantor untuk bekerja karena
beritaku hanya dimuat dalam situs warta digital. Hanya saja ketika begitu
banyak berita yang masuk dengan batas waktu yang sempit, aku cukup stres.
Sekarang 13 menit menuju pukul 21.00 dan tinggal
aku pengunjung yang ada di sini. Gelas es krim telah diambil, pekerjaanku
selesai semua, dan beberapa pegawai justru sudah lebih dahulu pulang. Aku putus
asa, segera kukemasi barang-barangku, membayar pesananku, dan keluar dari kedai
ini. Benar saja, begitu keluar kedai ini langsung tutup dan lampunya dimatikan.
Akhirnya aku berjalan meninggalkan tempat itu. Baru sepuluh langkah, aku
mendengar seseorang menggedor-gedor pintu kedai es krim. Aku langsung berbalik
dan menemukan dia di sana. Bodohnya, aku terpaku begitu saja. Dia mengetuk
beberapa kali pintu kaca dan berseru untuk dibuka, seperti anak kecil yang
meminta orang tuanya membukakan pintu saat pulang terlambat. Kemudian dia
menatapku yang masih mematung melihatnya. Dia menghampiriku. Badanku lemas.
”Hmmm... Kedainya barusan tutup.”, spontan aku
mengatakan itu.
”Oh begitu..
Saya terlambat sedikit. Mungkin
besok lagi saja ke sini. Terima kasih, ya.”, katanya sambil berlalu. Besok dia
akan ke sini!
(bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar