Rabu, 01 Agustus 2012

Tanda-Tanda

"Tik-tok-tik-tok" ya seperti itu lah bunyi pengharapan yang rasanya semakin nyata. Perkenalan itu telah sukses menyihir semua memori yang saya simpan baik-baik di dalam kenangan lama. Kebiasaan itu  pun telah kembali. Saya kini tidak lagi menyukai es krim vanila, saya kembali setia pada segelas es krim cokelat. Dan apakah ini pertanda bahwa rasa cinta saya juga akan kembali? Entahlah saya pun tidak ingin banyak tahu.

Sepertinya mesin waktu berputar terlalu cepat. Hingga saya tidak mampu menahan putaran untuk menikmati setiap hal kecil lagi dalam lelehan es krim cokelat ini. Mungkin terlalu nikmat, atau terlalu sulit jika saya harus mencernanya secara perlahan. Seolah-olah es krim cokelat ini meleleh bahkan mencair seketika diterpa sinar matahari yang terlalu terik menyengat di luar kedai es krim siang ini.

Bukan tanda sembarang tanda. Esoknya, tepat seperti dugaan saya, kamu hadir lagi dengan jarak hanya sekitar satu meter dari tempat saya berdiri, memasuki pintu kedai es krim yang khas seperti pintu-pintu di film cowboy. Namun sepertinya ada yang berbeda karena ternyata kamu tidak sedang asik duduk sendiri menikmati es krim favoritmu, melainkan asik berbincang dengan seorang perempuan muda dengan body layaknya  gitar spanyol.

(bersambung)

Minggu, 29 Juli 2012

Perkenalan

"Mengapa datang terlambat?" tanyaku.
Setelahnya baru aku menyadari bahwa pertanyaanku salah. Pipiku merona. Aku salah tingkah. Tetapi sepertinya dia tidak menyadari pertanyaanku. 
"Baru saja pulang bekerja. Aku harus mengambil barangku yang tertinggal kemaren." jawabmu
"Oh." Sepertinya aku telah berharap terlalu tinggi bahwa ia ingin datang untuk melihatku. Siapalah aku ini yang hanya orang asing mengharapkan dia yang namanya saja aku tidak tau. Lagi-lagi aku berharap, aku harus mulai terbiasa untuk tetap realistis. Untuk tidak menghayal terlalu tinggi. 
"Aku Tommy." Tiba-tiba kamu mengulurkan tangan. Aku terpana. Kaget dengan perkenalan yang tidak pernah aku harapkan.
"Ni..ni..na. Nina." aku tergagap menyebut namaku. Itu hal yang biasa terjadi jika aku terlalu terkejut dengan keadaan.
"Sepertinya aku pernah melihatmu." ujarmu.
Apakah dia ingat bahwa kami pernah berada di satu ruangan di kedai es krim itu? Apakah ia menyadari kehadiranku sebelumnya walau hanya lewat sekejap tatap mata?
"Ah ya, kamu mirip sekali dengan teman lamaku. Ha ha ha." 
Harapanku seketika jatuh. Memang lebih baik tidak berharap apa-apa. Aku harus meyakinkan diriku.
"Oke, aku harus pulang. Sampai jumpa." Setelah mengucapkan itu kamu pun berbalik pergi. Meninggalkanku dengan, lagi-lagi, sejuta harapan. Kamu mengatakan sampai jumpa. Hal itu membuatku bertanya apakah kita akan berjumpa lagi setelah ini?

(bersambung...)

Sabtu, 28 Juli 2012

Pertemuan Kedua


Ah, lucunya. Kisah pertemuanku dengannya seperti adegan dalam FTV yang baru kusaksikan tadi siang. Aku seperti pemeran utama wanita dan dia seperti pemeran utama pria. Sesaat setelah senyumannya dilempar kepadaku, aku langsung terbayang adegan dalam FTV itu, kami berkenalan dan cerita setelahnya tentu dapat ditebak. Seperti kebanyakan FTV, akhir ceritanya ’happy ever after’. Tapi aku bukan pemeran dalam FTV itu, aku tidak berkenalan dengannya, dan cerita selanjutnya sangat jauh berbeda dengan tayangan dalam televisi. Aku mencuri-curi kesempatan untuk melihat ke arahnya dan sedikit demi sedikit dalam wajah tegas yang bersahabatnya terdapat sisi dingin. Tatapan matanya. Aku dapat mengetahuinya lewat ekor mataku yang mengikutinya saat ia lewat di depanku menuju kasir. Sebentar ia juga menoleh ke arahku, aku dapat merasakannya. Entah kemudian ada perasaan yang begitu hangat menyelimutiku dan degup jantung ini seakan berlomba dengan bunyi detik jarum jam. Tidak begitu lama dia di kedai ini dan entah kapan lagi aku berjumpa. Oh tidak, mengapa aku menjadi berharap bertemu lagi dengannya? Aku tidak mungkin jatuh cinta, kataku membatin.

Berharap? Saya benci berharap, dan itu menyakitkan. Mengapa orang-orang harus menggantungkan keinginannya dengan harapan? Mengapa mereka mencaci ketika harapan itu sirna? Ketika kenyataannya tidak sebanding lurus dengan harapan? Kemudian mereka akan menyesal telah berharap, mereka akan mengutuki orang-orang yang harapannya terkabul, dan mereka akan berhenti berharap. Seperti saya. Empat tahun bukan waktu yang sebentar untuk membuat perubahan besar dalam hidup saya, setelah kamu begitu saja meninggalkan saya. Empat tahun adalah waktu yang begitu lama sampai benar-benar berhasil membersihkan semua hal tentang dirimu, tak terkecuali. Empat tahun pun waktu yang sangat cukup untuk menata kembali hidup saya yang sempat berantakan karenamu. Empat tahun saya lewati tanpa berharap.

Seindah-indahnya mimpi, ia akan tetap maya kecuali jika berusaha membuatnya nyata. Dia masuk mimpiku semalam, pria yang baru kutemui di kedai es krim kemarin. Bagaimana bisa? Aku tidak seratus persen ingat apa mimpiku, sedang apa dia di mimpiku, apa saja yang kami lakukan dalam mimpi, dan siapa dia dalam mimpiku. Namun, sebangunnya aku dari tidur dengan begitu saja aku tersenyum. Bahkan entah senyum itu untuk siapa. Hanya saja aku yakin, akan ada sesuatu dengan hidupku mulai hari ini. Kalaupun tidak, aku merasa tubuhku sedikit ringan karena mimpi tadi.

”Hahahahahahahahaha!”, tawaku lepas.

Seharian aku berada di kedai es krim, menghabiskan tiga gelas es krim vanila dan menunggunya datang. Tapi dia tidak datang. Jam menunjukkan pukul 19:57 dan sekitar satu jam lagi kedai ini akan tutup. Pegawainya sudah mulai merapikan bangku dan meja-meja. Aku masih ingin di sini, segala kemungkinan bisa terjadi kan? Selain menunggunya, aku juga membereskan pekerjaanku untuk dua hari kedepan. Seperti sedang kerasukan setan aku lembur di kedai es krim hari ini dan menyunting hampir seratus berita. Terkadang aku merasa sedikit beruntung tidak harus berada di kantor untuk bekerja karena beritaku hanya dimuat dalam situs warta digital. Hanya saja ketika begitu banyak berita yang masuk dengan batas waktu yang sempit, aku cukup stres.

Sekarang 13 menit menuju pukul 21.00 dan tinggal aku pengunjung yang ada di sini. Gelas es krim telah diambil, pekerjaanku selesai semua, dan beberapa pegawai justru sudah lebih dahulu pulang. Aku putus asa, segera kukemasi barang-barangku, membayar pesananku, dan keluar dari kedai ini. Benar saja, begitu keluar kedai ini langsung tutup dan lampunya dimatikan. Akhirnya aku berjalan meninggalkan tempat itu. Baru sepuluh langkah, aku mendengar seseorang menggedor-gedor pintu kedai es krim. Aku langsung berbalik dan menemukan dia di sana. Bodohnya, aku terpaku begitu saja. Dia mengetuk beberapa kali pintu kaca dan berseru untuk dibuka, seperti anak kecil yang meminta orang tuanya membukakan pintu saat pulang terlambat. Kemudian dia menatapku yang masih mematung melihatnya. Dia menghampiriku. Badanku lemas.

”Hmmm... Kedainya barusan tutup.”, spontan aku mengatakan itu.
”Oh begitu.. Saya terlambat sedikit. Mungkin besok lagi saja ke sini. Terima kasih, ya.”, katanya sambil berlalu. Besok dia akan ke sini!

(bersambung)

Selasa, 17 Juli 2012

Perubahan


Kamu tau kenapa saya membenci kamu? Tidak, bukan membenci, tapi saya merasa kamu sudah terlalu lama berada di hidup saya. Saya bosan. Hingga kembali saya menganggap kamu orang asing yang tidak saya kenal. Es krim coklat di kedai ini. Kamu yang memperkenalkannya. Tetapi kamu juga yang membuat saya tidak lagi menyukainya. Entahlah, saya merasa rasa es krim ini terlalu berlebihan, seperti perasaanmu terhadap saya. Saya menginginkan hal yang sederhana, yang tidak banyak mengumbar kata-kata manis yang akhirnya membuat saya muak. Kamu tau? Ketidakwarasan yang saya rasakan membuat perasaan saya menjadi lebih netral. Saya tidak merasakan apa-apa. Hampa. Tapi bermakna. Mulai saat ini, saya akan berhenti membuat kamu menjadi bayangan saya. Saya akan berhenti bersembunyi di balik dinding itu. Silahkan kamu pergi. Saya sudah terlalu sibuk untuk memikirkan kamu.


4 tahun kemudian...

Kembali lagi ke sini. Tempat ini masih sama. Tetapi jauh lebih modern. Perubahan itu bisa terlihat dari  pintu depannya sekarang terbuat dari kaca, jadi setiap orang yang melintas di depannya bisa melihat kesibukan yang terjadi di dalam. Di balik pintu itu, terdapat sebuah ruangan yang cukup besar untuk menampung pengunjung yang setiap hari datang. Dalam ruangan itu, kursi-kursi dan meja disusun semenarik mungkin sehingga pengunjung betah berlama-lama di dalamnnya. Ada yg berupa kursi kayu atau sofa dan di pasangnya dengan meja yang sepadan. Pelayanannya masih sama seperti dulu. Pegawainya ramah dan menjadikan pengunjungnya seperti raja. Aku tetap jatuh cinta pada tempat ini. Tak heran jika bisa berjam-jam aku menghabiskan waktu di sini.

Tepat hari ini saat sedang duduk di tempat yang menjadi favoritku dari dulu dan bersantai menikmati es krim vanila yang kini menjadi kesukaanku, aku melihatnya datang. Dia seperti magnet. Menyedot segala kesadaranku. Aku dibuatnya seperti melayang. Kau tau rasanya jatuh cinta pada pandangan pertama? Tapi rasa ini lebih dari itu. Aku seperti melihat bahwa dia jodohku. Kami memang ditakdirkan bertemu di tempat ini. Dan tiba-tiba, dia melihat ke arahku. Walaupun sebenarnya dia seperti tidak menyadari keberadaanku. Kesadaranku langsung kembali dan pipiku rasanya panas. Jantung ini berdegup cepat tidak seperti biasanya. Aku tau, inilah saat-saat yang kunanti. Saat hatiku bisa merasakan getaran itu lagi setelah sempat lama redup.
Dia duduk di sudut mengarah ke jalan raya. Hanya berselang beberapa meja dariku. Dari tempatnya itu aku bisa menilai manusia seperti apa yang dapat membuatku langsung jatuh hati. Aku dapat melihat seraut wajah tegas tetapi tetap bersahabat. Hidupnya pasti dipenuhi dengan humor, karena yang kulihat kaus dibalik kemeja flanelnya bergambar tokoh kartun anak yang sedang populer pada saat ini. Entah apa hubungannya, aku pun tidak mengerti. Yang jelas aku menyukainya. Cara dia duduk dengan santainya dan cara dia menikmati es krim di hadapannya. Di luar dugaanku, dia menoleh dan kami bertatapan. Dia memberikan senyum yang belum pernah kulihat dari manusia manapun. Senyum yang dapat membuatmu yakin bahwa selama ada dia hidup akan baik-baik saja. Senyum itu menular kepadaku. Aku yakin, dia pasti melihat pipiku yang memerah. Aku malu.

(bersambung...)

Rabu, 11 Juli 2012

Tanda

Tanda… Es krim cokelat… Dan kamu dalam hidup saya.

Ada yang tau tidak? Sebenarnya saya jatuh cinta namun saya ini gila. Seperti es krim cokelat yang nanti saya biarkan mencair karena sensasinya dapat membuat senyum saya tertarik dari sudut kanan bibir saya saja.  Ya, seperti es krim cokelat yang selalu saya pandangi hingga mencair dan melebur bersama topping warna-warni. Cinta. Iya cinta, bisa saya dapat seperti saya sedang menunggu es krim cokelat di sebuah kedai tadi. Menunggu. Bisa sebentar bisa lama dalam balutan waktu. Lalu, saya teringat dia yang menemui saya selama beberapa hari kemarin. Ia bertanya, mengapa saya berubah? Saya hanya tersenyum.



Ia mengajarkan saya banyak hal. Bahkan ia menjadi orang yang paling berjasa dalam hidup saya. Ia selalu mengantarkan es krim cokelat ke pangkuan saya dengan tersenyum. Sayang, ia tidak pernah mau makan es krim kesukaan saya bersama. Alasannya sederhana, takut ia menjadi rakus. Kasihan saya.



Sejak saat itu saya menemui manusia berpakaian putih. Ia berbisik kepada saya, katanya “kamu sakit”. Saya hanya tersenyum. Ia bilang saya aneh. Saya tersenyum lagi. Ia menggeleng dan tersenyum. Lalu saya berikan ia hadiah “es krim cokelat”. Dan saya pergi dengan tatapan nanar.

Saya mulai termenung di tempat yang sama, kedai es krim. Saya kembali memesan pesanan yang sama, es krim cokelat dengan beberapa topping di atasnya. Selang menunggu es krim tiba saya membuka ponsel dan mengirimkan pesan padanya “jauhi saya”. Kemudian hari itu selesai.

Pertanyaan yang selalu menghantui nalar saya adalah, mengapa? Mengapa? Dan mengapa? Saya tidak tau ini berawal dari mana, yang pasti saya mengubah hidup saya sejak ia tidak mau makan es krim cokelat bersama saya. Juga sejak saya menjadi “gila”. Saya tidak mau ke mana-mana selain ke kedai es krim dan gambar pintu di balik dinding kamar saya. Tidak ada yang tau apa yang saya perbuat di kedai es krim juga di balik dinding itu. Hanya saya dan pegawai es krim yang tau, bukan dia.

Awalnya, ini baru awalnya. Coba tanyakan pada pegawai kedai es krim saja, jangan tanya pada saya, apalagi dia. Apa yang terkadang saya lakukan dengan es krim cokelat? Coba tebak. Dengan es krim cokelat dan meja di tempat saya termenung semua hal akan terungkap.


(bersambung..)

Awalnya


Di hadapan saya ada segelas es krim cokelat dengan topping dua buah wafer stik stroberi yang diberi taburan meises. Tadi saya diminta untuk memilih menu pada kedai es krim ini dan jari telunjuk saya dengan cepat memilih es krim cokelat itu. Sekarang, saya sedang duduk sambil memandang kosong es krim yang mulai mencair. Ini adalah kebiasaan saya, menunggu es krim sampai mencair separonya, baru saya mium, baru saya makan. Ada sebuah sensasi tersendiri ketika saya melihat es krim ini mencair perlahan, ia bagai bergerak mengempaskan kebekuan menjadi wujud sesungguhnya di mana ia bermula. Tiba-tiba saya berpikir ini ibarat seorang manusia yang membentengi diri dengan sebuah topeng pada ada saja kesempatan untuk sebuah misi, beku, bukan dirinya. Misalnya saja saya, perlukah saya pamerkan siapa saya sebenarnya? Toh, hanya orang terdekat saya yang memang tau bagaimana sebenarnya saya.
Ah, terus-terusan mengibaratkan sesuatu nanti bisa-bisa saya jadi merasa sok. Saya pelajar abadi yang memiliki guru sebuah alam raya. Guru saya mengajarkan tanpa pernah memberikan tugas, tugasnya selalu saya cari dan kerjakan sendiri. Pemberian nilai pun adalah kehendak saya sebetulnya. Seperti sekarang, saya berkehendak duduk di kedai es krim ini. Memerhatikan es krim cokelat saya mencair pada gelas yang sama. Gelas bening yang biasa digunakan di pesta-pesta dengan sebuah tatakan tinggi agar terlihat elegan. Di bawah tatakannya tertulis nama saya, yang artinya hanya saya yang boleh menggunakan gelas itu. Pegawai di sini pun tau seluk beluknya.
Mungkin hanya tempat ini yang dapat menampung penderitaan saya. Untung saya tidak merealisasikannya dengan bunuh diri, seperti berita-berita di televisi. Untungnya saya masih berpikir untuk melakukan hal yang lebih berkelas daripada bunuh diri. Untungnya saya benci bau obat nyamuk, baik yang semprot ataupun yang bakar, sehingga otak saya tidak dongkol untuk meneguk obat nyamuk sebagai cerita akhir di hidup saya. Untungnya saya menemukan kedai ini dan sekarang sudah separo es krim cokelat saya mencair. Saya menyingkirkan wafer stik stroberinya ke sisi gelas dan memulai minum es krim saya.

 —
Dua jam sebelumnya..
Ponsel saya bergetar, SMS masuk. Darinya. Dalam teksnya, ia lagi-lagi mengingatkan hal yang itu-itu lagi pada saya. Di akhirnya, ia meminta saya untuk bersabar. Bingung saya dibuatnya. Sebuah pesan untuk bersabar dengan terus-menerus mengingatkan hal yang sudah saya ingat tanpa perlu lagi diingatkan. Hari ini saya tidak mendatanginya lagi, cukup saja lima waktu kemarin. Dalam pertemuan selama dua jam dikali lima hari, pembahasan kami hanya pada hal itu-itu lagi. Pengulangan. Statis. Cukup buat saya.
Sebuah pesan masuk lagi, ini darimu. Seorang kawan lama yang selalu hadir di saat yang tepat. Kamu bukan sahabat yang selalu ada bersama saya, tetapi kamu selalu ada di saat yang tepat. Saat tepat tidak selalu ada. Mungkin saya adalah seorang yang pemilah, memilah dan mengategorikan orang ke dalam teman, sahabat, dan kawan. Kamu minta saya menemuimu malam nanti, pukul delapan. Jika kamu bilang begitu, sudah tentu hanya itu waktu yang kamu punya. Selama menunggu waktu itu, saya berdiam dulu di kamar sambil melanjutkan menghitung jumlah ubin dalam kamar saya. Pekerjaan yang terus saya kerjakan ketika ada waktu luang.
Baru menghitung ubin ke delapan belas, sebuah nada panggilan masuk dari ponsel mengusik saya. Darinya lagi. Sudah bisa terdengar kata-kata yang akan ia katakan pada saya. Ia akan menanyakan keberadaan saya, mengapa belum juga menemuinya, padahal ia sudah menunggu saya. Saya diamkan. Hingga ketiga kalinya ponsel saya terus berdering, di panggilan masuk ke empat ponsel saya mati. Saya hanya tersenyum. Akhirnya ia enyah.
Saya kadang-kadang pintar. Tidak begitu lama, pintu rumah saya diketuk dan sudah dapat dipastikan itu ia. Saya tau sebentar lagi ia akan masuk, mencari saya sampai ketemu. Saya pun bersembunyi pada sebuah tembok yang saya lukis dengan gambar pintu cokelat. Saya merogoh sebuah kunci dalam saku celana dan membukanya. Sebuah tempat yang hanya saya seorang tau. Dari dalam tempat itu, saya mengintip ia yang terus memanggil nama saya sambil mata dan tangannya mencari sosok saya.
Hingga ia masuk ke dalam kamar saya, membuka satu-satu laci dalam lemari saya dan melihat berkas-berkas riwayat hidup saya. Saya intip, ia mengambil secarik kertas di sana dan memasukkan dalam tas tangannya. Kertas berisi riwayat saya yang ada di tangannya, berupa rahasia. Jika bukan rahasia, ia tidak mungkin menemui saya. Rahasia mengenai kasih-kasihan dan penderitaan. Sebuah penderitaan dengan pemberitaan akan menjadi sebuah kasihan, menurut saya. Sementara saya bukan orang yang ingin dikasihani.
Sementara tembok dan ruangan ini hanya saya yang bisa tau. Mungkin saya dan semut-semut yang tiba-tiba menyelinap ke dalam. Di sini, ada sebuah kursi dan saya duduk di atasnya. Sejenak saya melihat sebuah es krim cokelat di atas kepala saya. Maka ini adalah tanda, cerita akan segera dimulai.
(bersambung…)